Halaman
76
Bahasa Indonesia Kelas X SMA/MA
B.
Mendiskusikan Nilai-Nilai dalam Cerpen
6.1 Berbicara (Sastra)
Tujuan Pembelajaran:
Kamu akan mampu menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan diskusi.
Tahukah kamu arti nilai dalam suatu karya sastra?
Nilai adalah hal-hal, pesan, atau ajaran yang dianggap penting bagi kehidupan
manusia. Suatu karya sastra pasti mengandung suatu nilai yang terdapat di
dalamnya, tak terkecuali dalam sebuah cerpen.
Setiap pengarang pasti menyisipkan nilai-nilai kepada pembaca lewat cerita-
nya. Nilai-nilai tersebut dapat berupa berikut ini.
1. Nilai moral atau etika
,
adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan norma-norma
yang ada dalam suatu masyarakat atau kelompok manusia tertentu. Jadi,
ukuran nilai adalah baik dan buruk yang bersifat lokatif atau berdasarkan
tempat tertentu. Pesan moral disampaikan dari pelaku para tokoh-tokohnya
atau komentar langsung pengarangnya dalam karya sastra.
Contoh:
Minuman keras tentu bertentangan dengan nilai moral orang timur.
2. Nilai sosial, adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan masalah sosial dan
hubungan manusia dengan masyarakat. Jadi, berkaitan dengan interaksi sosial
antarmanusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
Contoh:
Nilai gotong royong sesuai dengan nilai sosial masyarakat desa.
3. Nilai budaya,
adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebudayaan, adat
istiadat, ataupun kebiasaan suatu masyarakat.
Contoh:
Budaya sabung ayam Bali, budaya individualisme masyarakat met-
ropolitan.
4. Nilai estetika atau keindahan
,
adalah nilai yang berkaitan dari segi bahasa,
penyampaian cerita, pelukisan alam, keistimewaan tokoh, dan lingkungan
sekitar tokoh.
Contoh:
Rambutnya terurai selayak kilauan emas terkena mentari.
Di sela-sela keindahan matanya, terhias indah gumpalan berlian.
Di kedua lesung pipinya, serta manik-manik indah terlihat indah di
antara senyumnya.
5.
Nilai religius
, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan ketuhanan atau
kepercayaan.
Contoh:
Di antara kelaparan dan kehausannya masih juga ia menyebut nama
Allah.
77
Ragam Peristiwa
Sebagai latihan, bacalah cerpen berikut dengan saksama!
Menu Makan Malam
Cerpen Kadek Sonia Piscayanti
Ibu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia
terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama.
Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-
juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-
beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari
dapurnya.
Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah
hanya ada tiga kata,
menu makan malam
. Setiap detik, setiap helaan napasnya,
pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam
itulah ritual resmi yang secara tersirat dibuatnya tetap lestari hingga saat ini.
Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut
mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia
melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.
Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan
kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu.
Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan
saling mendengarkan cerita masing-masing.
Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai
dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau,
dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera
berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe.
Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka
makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis
dan sedikit vitsin, sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum
didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan
yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan berhari-hari.
78
Bahasa Indonesia Kelas X SMA/MA
Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur
dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa
saja, yang penting makan, jadilah.
Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis
dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap
telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai
pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk
dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin
berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga
honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada
apel setiap tujuh tiga puluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh
kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya
menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing
atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma
bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai.
Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah
kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa
bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa
tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan
itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.
Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor
yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring
itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah
menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah
yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya
yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.
Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak
mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk
semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu.
Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak,
tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya,
bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah...
Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak
akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah
membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada
waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada
sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan
urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak
mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.
Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam
5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan
malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap
hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah...
79
Ragam Peristiwa
Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.
Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada
keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi
mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.
Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-
turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka
memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak.
Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu.
Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar
dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia
merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja.
Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi?
Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan
di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries,
kini telah membuatnya kecewa secara nyata.
Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam, dan ketujuh,
Aries juga absen makan malam.
Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana.
Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.
Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar
kelihatan berseri. Ia tampak aneh.
“Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-
satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan
mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian
memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam
untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu
akan mencoba. Selamat bersenang-senang!”
Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok
bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh
keadaan ini.
“Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan
menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!”
Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.
“Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa
seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin
tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah
Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan
tak pernah berusaha melakukan apa pun!”
Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya
tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan
senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu
mencegahnya bicara lebih dulu, “Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa
80
Bahasa Indonesia Kelas X SMA/MA
saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah
tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang
perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian
semua.”
“Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar,
bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi
kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita
belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas
meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena
penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah
kita, juga di atas meja makan itu.”
“Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu
hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu.”
Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa
istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan
yang terpenting, tak menggairahkan.
***
Singaraja, 8 November 2005
Diskusikan hal-hal berikut dengan teman semejamu!
1. Sebutkan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen tersebut!
2. Bagaimana tanggapan kamu tentang budaya yang tercermin dalam cerpen?
3. Menarikkah cerpen di atas? Berikan alasanmu!
4. Bagaimana realitas cerita cerpen jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang?
5. Coba, ceritakan kembali isi cerpen di atas dengan bahasamu sendiri!
No.
a.
b.
c.
d.
e.
Nilai-Nilai Cerpen
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
Bukti dalam Cerpen
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
Kerjakan di buku tugasmu!
2